Agama banyak ragamnya. Setengah agama hanya semata-mata ibadah dan upacara yang dilakukan di dalam waktuyang tentu dengan beberapa rukun dan syarat yang tertentu. Dalam pada itu, ilmu pengetahuan manusia bertambah naik pula, yang terbit dari penyelidikan akal dan pikiran yang tiada mau puas. Jika terdiri suatu barang di hadapan pancaindra, maka timbulah pertanyaan: Apakah? Berapakah?
Segala barang yang berdiri itu peduli, walau agama atau keadaan, baik langit atau bumi, atau zat yang sekecilkecilnya, semuanya kena tanya: Apakah? Berapakah? Apa sebabnya begitu, dari mana asalnya? Kalau dibuat begini apa hasilnya, dan kalau tidak begini apa salahnya?
Lantaran itu, maka tiap-tiap agama selaluterbentur dengan ilmu pengetahuan, sehingga dalam masa yang tidak lama, tentu segala agama, upacara dan pujaan yang tidak bersetuju dengan ilmu, tidak akan kuat urat tunggangannya lagi.
Kepala-kepala agama, dengan setia dan teguh membela upacara agama, atau upacara yang disangkanya agama. Mereka mempertahankan dengan segala usaha dan tenaga.
Dalam pada itu, manusia umum pun bertambah maju dengan ilmunya, bertambah tingkat perjalanan akalnya, sehingga peperangan agama dengan ilmu kian lama kian hebat dan manusia yang setia kepada ilmu bertambah jauh
terpisah dari agama dan manusia yang cinta kepada agama bertambah jauh terpusah dari ilmu.
Tetapi selain dari ilmu pengetahuan membongkar segala agama yang carutmarut, juga menimbulkan alasan yang kuat bahwa Yang Mahakuasa atas alam itu memang ada, memang Wujud dan Tunggal.
Teranglah bahwa segala agama yang tulen, mesti sesuai dengan ilmu yang tulen, dan agama yang tidak tulen, yang hanya terbit dari buah pikiran manusia yang karut, mesti tersingkir dan hapus dari muka bumi ini.
Akal sudah tahu bahwa banyak benar agama yang memaksa orang mesti percaya saja, tidak boleh membantah. Padahal ilmu menentang paksaan, sebab ilmu tidak mengakui barang sesuatu sebelum dicoba, dialami, dan dibuktikan.
Tetapi agama yang tulen, kalua belum diakui oleh ilmu, tandanya imu itu belum tulen pula, sebab sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa teori ilmu kerapkali telah menetapkan sesuatu hukum batas suatu perkara, kemudian datang teori lain membatalkan teori yang pertama.
Dari Ilmu yang tulen, timbulah percaya. Ilmu bersarang di otak dan percaya bersarang di hati, Agama yang tulen ialah persetujuan perasaan hati dengan pendapat otak. Kalau belum bersetuju tandanya ilmu belum cukup perjalanannya.
Agama Islam tidak mengakui taklid buta, tetapi mengajak akal supaya bekerja menyelidiki hingga akhir. Agama Islam bersorak memanggil akal supaya bekerja, jangan lalai dan jangan lelah, sebab tiap-tiap terbuka suatu pintu dari keraguan itu, terpancarlah cahaya dan hilanglah waham.
“Tidurlah di rumah, tak usah dipikirkan panjang sebab jalan sempit, tujuan jauh, perbekalan sedikit.”
Islam menyerukan supaya terlepas dari waham, syak, dari ikatan was-was. Manusia diciptakan Tuhan bukan buat menjadi Pak Turut, sebab Pak Turut itu ialah binatang ternak.
Manusia hidup supaya dapat pengajaran dan ilmu dari perbandingan, dari alam dari segala kejadian yang mengalir di dalam kehidupan yang laksana air hilir layaknya.
Umat Islam disuruh menjadi penyaring, jangan menjadi “nrimo wae” laksana muara air yang dilalui ikan, buaya, kapal dan dilalui bangkai, tetapi memilih mana ayang baik, memperbaiki mana yang patut dan melemparkan barang yang tidak baik.
Kata Tuhan di dalam Alquran: “Berilah kabar gembira bagi hambaKu yang suka mendengar kata dan memilih mana yang baik,” (Qs Az-Zumar, 17-18).
Menyamakan derajat manusia dengan Tuhan, tidak boleh dalam Islam, sehingga seorang manusia lantaran ada kebaikannya pada suatu masa, diagungkan, dijunjung lebih daripada mesti, dianggap tidak pernah salah, selalu benar, suci lebih dari manusia yang lain.
Sementara Rasulullah SAW sendiri, kerapkali berkata bahwa dia hanya manusia biasa sebagaimana kita ini, kebelihannya hanya karena dia terpilih menjadi Rasul.
Disadur dari buku Tasawuf Modern
Bima AP